Pages - Menu

Jumat, 27 April 2018

Resensi Buku: Critical Eleven


Semangat pagi Penikmat Kopi.
Rasanya seperti naik roller coaster. Terlalu sering menghela nafas panjang. Bahkan terkadang merasa sesak di dada. Hanya saja belum sampai meneteskan air mata.
Meski mungkin hidup memang seperti ini. Kadang bahagia, kadang penuh dengan kejutan indah, terkadang juga ada hal-hal yang tak pernah kita inginkan itu ada.
Critical Eleven, sebuah buku dan pelajaran berharga.
(Tulisanku di facebook, 26 Maret 2017)
Judul: Critical Eleven

Penulis: Ika Natassa

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Kota Penerbitan: Jakarta

Tahun Terbit: 2015

Cetakan: Ketujuhbelas, Januari 2017

Ketebalan: 344 halaman

ISBN: 978-602-03-1892-9

Berawal dari caption teman di instagramnya tentang buku ini, membuatku penasaran. Langsung saja deh aku masukkan dalam wishing list belanja buku. Lucunya pas jadwal belanja, aku salah beli buku. Aku beli buku lain yang sampulnya sama-sama berwarna biru, gara-gara aku lupa apa judulnya. Alhasil buku ini baru aku beli di bulan berikutnya. 

Critical Eleven adalah sebuah cerita pendek sebelum berkembang menjadi sebuah novel yang keren. Dalam kumpulan cerpen berjudul Autumn Once More, Critical Eleven menceritakan tentang sosok wanita dalam sebuah penerbangan sedang mengenang awal pertemuannya dengan sosok lelaki yang menjadi kekasihnya. Tapi pertemuan yang manis antara keduanya telah menjadi sebuah masa lalu yang membuat mereka kembali asing satu sama lainnya. 

Cerita pendek itu dikembangkan kemudian menjadi sebuah novel yang luar biasa. Tanya Baskoro (Anya) dan Aldebaran Risjad (Ale) adalah dua tokoh utama dalam novel ini. Keduanya bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Sebelas menit paling kritis dalam pertemuan itu rupanya membawa kesan tersendiri bagi mereka. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan  delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya. 

Setelah melalui proses meyakinkan diri yang panjang, akhirnya mereka pun menikah. Profesi Ale sebagai petroleum engineer yang hanya memiliki waktu 5/5, yaitu lima minggu di rig dan lima minggu libur membuat mereka harus hidup berjauhan. Tapi, meski tak selalu bersama, hubungan mereka tetap harmonis. 

Hingga terjadi suatu tragedi memilukan yang menjadi mimpi buruk bagi pasangan suami istri manapun. Sebuah tragedi yang membuat mereka kembali menjadi orang asing meski tinggal bersama. Jarak membentang di antara keduanya meski ada di bawah atap yang sama. Tragedi ini membuat pembaca bertanya-tanya apakah mereka akan dapat mempertahankan pernikahan atau justru mengakhirinya?

Membaca halaman-halaman awal membuatku merasa buku ini hanyalah novel romance biasa. Tapi begitu sampai pada halaman-halaman berikutnya, hati ini serasa naik roller coaster. Ika Natassa berhasil membawa perasaan pembaca larut ke dalam cerita. 

Karakter yang kuat dari tokoh Anya dan Ale ditambah alur cerita maju mundur sukses membuat emosiku jungkir balik. Kadang tersenyum tipis, tapi tiba-tiba aku harus menghela nafas panjang karena ada bagian cerita yang menyesakkan dada. 

Ika Natassa memang keren dalam merajut aksara. Pantaslah jika Critical Eleven disunting oleh banyak rumah produksi untuk dijadikan film. Meski aku sempat ragu apakah filmnya akan menggambarkan isi cerita dengan baik atau justru mengecewakan seperti film-film lain yang jauh dari isi novelnya. 

Dan ternyata film Critical Eleven sukses memecahkan rekor dalam kamusku yang selama ini selalu berpendapat bahwa novel yang dibuat film tidak akan sukses. Karena apa yang diceritakan dalam film biasanya tidak sebagus imajinasi kita ketika membaca novelnya. 

Film dan novel Critical Eleven dua-duanya luar biasa. Menghadirkan Adinia Wirasty dan Reza Rahardian sebagai pemeran utama membuat sosok Ale dan Anya dalam imajinasi pembaca bisa terwujud nyata. Keseluruhan cerita dalam novel bisa tersampaikan dengan utuh dan cantik dalam film. Apalagi chemistry dua tokoh utama film ini tidak perlu diragukan lagi. Kekuatan karakter sosok Anya bahkan berhasil membawa Adinia Wirasty menyabet penghargaan pemeran utama wanita terbaik dalam Festival Film Bandung. 

Membaca novel dan menonton film Critical Eleven sama-sama membutuhkan bekal tisu yang banyak. Kita akan diajak menangis dan tertawa menyelami manis pahitnya kisah hidup Ale dan Anya. 

Diceritakan dari dua sudut pandang yang bergantian antara Anya dan Ale, membuat kita akan memilih di akhir cerita. Apakah kita termasuk tim Ale atau tim Anya?

*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas resensi buku dan film kelas Non Fiksi ODOP batch 5 dan juga tugas RCO 3
#tugasRCO3 #Tugas2Level3 #OneDayOnePost #kelasnonfiksi #tantanganpekan4

10 komentar:

  1. Balasan
    1. Baguuus ini novel maupun filmnya mbak. Jangan lupa sediain tisu ya sebelum baca atau nonton filmya.

      Hapus
  2. waaah aku baru tau ini dari cerpen..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya awalnya ini cerpen sebelum jadi novel lho PaKet.

      Hapus
  3. Balasan
    1. Udah pernah nonton filmnya belum mbak? Bagus lho, jangan lupa sediain tisu ya.

      Hapus
  4. Aku udah baca novelnya... Dan aku sukaaaaa...😍 tapi belum nonton filmnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Filmnya bagus juga lho. Satu-satunya film yang diserap dari novel dan aku suka. Filmnya bisa banget menerjemahkan imajinasi kita pas baca novelnya.

      Hapus