"Maafkan ibu dan bapak ya, Nak. Kami hanya gak mau kamu nanti berhenti kuliah di tengah perjalanan," kata ibu sambil membelai lembut kepala Amalia yang sedang terisak.
Mebangun karsa sekokoh baja untuk bisa mencapai target hidup yang sudah dicatatkannya pada menara cita ternyata harus berakhir dengan air mata. Amalia tidak akan pernah menjadi dokter. Bapak dan ibunya tidak memberikan izin untuk kuliah di jurusan kedokteran. Amalia tidak menyangka sama sekali akan keputusan yang diambil oleh orangtuanya.
Padahal sejak dulu, mereka selalu mendorong Amalia untuk masuk sekolah-sekolah terfavorit di kotanya. Bapak dan ibu selalu bilang kalau mereka rela bekerja keras asal Amalia bisa belajar di sekolah yang terbaik. Amalia harus mendapatkan pendidikan yang terbaik agar masa depannya nanti lebih cerah dibanding bapak dan ibu.
"Kenap kali ini aku gak boleh kuliah di jurusan yang difavoritkan banyak orang, Bu? Aku janji akan mencari beasiswa nanti," kata Amalia dalam isak tangisnya yang tak kunjung henti.
Sudah sejak SMP Amalia menuliskan jurusan kedokteran pada anak tangga di dinding luar gambar menara yang ditempelkannya di tembok. Sejak SD, Amalia menggambar menara itu. Dia menuliskan cita-citanya di sana. Dikucilkan teman-teman SD dari pergaulan hanya karena dia berasal dari keluarga yang tidak mampu, membuatnya termotivasi untuk menempuh pendidikan yang terbaik. Amalia ingin menunjukkan pada teman-temannya kalau dia bisa lebih maju dibanding mereka. Teman-teman boleh punya orangtua yang kaya, tapi urusa prestasi sekolah, Amalia memastikan hanya dia yang punya.
Tapi kali ini, apa menjadi dokter hanya akan sebatas karsa?
Ibu kembali mengusap lembut rambut hitam anaknya, "Kamu bisa jadi orang meski gak masuk kedokteran, Amalia. Selama kuliahmu bisa selesai kau bisa kerja di tempat terbaik. Kalau kulliah kedokteran tapi gak selesai, percuma saja. Kau tidak akan jadi apa-apa. Maafkan ibu dan bapak, Nak."
Amalia bergegas bangun dari posisi telungkupnya begitu merasakan tetes air mata ibu di pipinya. Bagaimana mungkin dia membuat ibunya menangis? Selama ini Amalia selalu berusaha untuk tidak mengecewakan ibu. Tapi sekarang karena besarnya ego untuk kuliah kedokteran justru membuat ibunya menangis.
Merasakan air mata ibu membasahi pipi itu jauh lebih menyakitkan dibanding merasakan kekecewaan tidak bisa kuliah kedokteran. Amalia segera menyeka air mata di pipi ibunya. Menatap dalam mata bening wanita yang telah berjuang untuk hidupnya selama ini. Amalia pun menghambur dalam pelukan ibunya. Isaknya semakin dalam.
Dipeluknya ibu erat-erat, "Maafkan Amalia, Bu. Amalia janji akan menjadi yang terbaik untuk bapak dan ibu meski gak kuliah kedokteran. Maafkan Amalia."
Tapi kali ini, apa menjadi dokter hanya akan sebatas karsa?
Ibu kembali mengusap lembut rambut hitam anaknya, "Kamu bisa jadi orang meski gak masuk kedokteran, Amalia. Selama kuliahmu bisa selesai kau bisa kerja di tempat terbaik. Kalau kulliah kedokteran tapi gak selesai, percuma saja. Kau tidak akan jadi apa-apa. Maafkan ibu dan bapak, Nak."
Amalia bergegas bangun dari posisi telungkupnya begitu merasakan tetes air mata ibu di pipinya. Bagaimana mungkin dia membuat ibunya menangis? Selama ini Amalia selalu berusaha untuk tidak mengecewakan ibu. Tapi sekarang karena besarnya ego untuk kuliah kedokteran justru membuat ibunya menangis.
Merasakan air mata ibu membasahi pipi itu jauh lebih menyakitkan dibanding merasakan kekecewaan tidak bisa kuliah kedokteran. Amalia segera menyeka air mata di pipi ibunya. Menatap dalam mata bening wanita yang telah berjuang untuk hidupnya selama ini. Amalia pun menghambur dalam pelukan ibunya. Isaknya semakin dalam.
Dipeluknya ibu erat-erat, "Maafkan Amalia, Bu. Amalia janji akan menjadi yang terbaik untuk bapak dan ibu meski gak kuliah kedokteran. Maafkan Amalia."