Pages - Menu

Senin, 11 Juni 2018

Sebatas Karsa Amalia

"Maafkan ibu dan bapak ya, Nak. Kami hanya gak mau kamu nanti berhenti kuliah di tengah perjalanan," kata ibu sambil membelai lembut kepala Amalia yang sedang terisak. 

Mebangun karsa sekokoh baja untuk bisa mencapai target hidup yang sudah dicatatkannya pada menara cita ternyata harus berakhir dengan air mata. Amalia tidak akan pernah menjadi dokter. Bapak dan ibunya tidak memberikan izin untuk kuliah di jurusan kedokteran. Amalia tidak menyangka sama sekali akan keputusan yang diambil oleh orangtuanya. 

Padahal sejak dulu, mereka selalu mendorong Amalia untuk masuk sekolah-sekolah terfavorit di kotanya. Bapak dan ibu selalu bilang kalau mereka rela bekerja keras asal Amalia bisa belajar di sekolah yang terbaik. Amalia harus mendapatkan pendidikan yang terbaik agar masa depannya nanti lebih cerah dibanding bapak dan ibu. 

"Kenap kali ini aku gak boleh kuliah di jurusan yang difavoritkan banyak orang, Bu? Aku janji akan mencari beasiswa nanti," kata Amalia dalam isak tangisnya yang tak kunjung henti.

Sudah sejak SMP Amalia menuliskan jurusan kedokteran pada anak tangga di dinding luar gambar menara yang ditempelkannya di tembok. Sejak SD, Amalia menggambar menara itu. Dia menuliskan cita-citanya di sana. Dikucilkan teman-teman SD dari pergaulan hanya karena dia berasal dari keluarga yang tidak mampu, membuatnya termotivasi untuk menempuh pendidikan yang terbaik. Amalia ingin menunjukkan pada teman-temannya kalau dia bisa lebih maju dibanding mereka. Teman-teman boleh punya orangtua yang kaya, tapi urusa prestasi sekolah, Amalia memastikan hanya dia yang punya.

Tapi kali ini, apa menjadi dokter hanya akan sebatas karsa?

Ibu kembali mengusap lembut rambut hitam anaknya, "Kamu bisa jadi orang meski gak masuk kedokteran, Amalia. Selama kuliahmu bisa selesai kau bisa kerja di tempat terbaik. Kalau kulliah kedokteran tapi gak selesai, percuma saja. Kau tidak akan jadi apa-apa. Maafkan ibu dan bapak, Nak."

Amalia bergegas bangun dari posisi telungkupnya begitu merasakan tetes air mata ibu di pipinya. Bagaimana mungkin dia membuat ibunya menangis? Selama ini Amalia selalu berusaha untuk tidak mengecewakan ibu. Tapi sekarang karena besarnya ego untuk kuliah kedokteran justru membuat ibunya menangis.

Merasakan air mata ibu membasahi pipi itu jauh lebih menyakitkan dibanding merasakan kekecewaan tidak bisa kuliah kedokteran. Amalia segera menyeka air mata di pipi ibunya. Menatap dalam mata bening wanita yang telah berjuang untuk hidupnya selama ini. Amalia pun menghambur dalam pelukan ibunya. Isaknya semakin dalam.

Dipeluknya ibu erat-erat, "Maafkan Amalia, Bu. Amalia janji akan menjadi yang terbaik untuk bapak dan ibu meski gak kuliah kedokteran. Maafkan Amalia."

#30DWCJilid13 #Squad10 #Day26

Menulis Resensi Buku

Semangat pagi Penikmat Kopi, 

Kali ini aku akan berbagi info tentang cara menulis resensi buku. Jangan berhenti pada halaman terakhir bukumu ketika membacanya. Tapi tulislah resensinya agar orang lain tahu mana buku-buku yang menarik untuk dibaca. 

Unsur-unsur resensi buku, antara lain:

1. Judul
📓 Judul, buat yang menarik seperti halnya kita membuat tulisan. Tapi klo aku biasanya to the point aja, langsung resensi buku bla bla gitu judulnya biar jelas. (Jangan ditiru ya, itu malas mikir saja sih aslinya)✌🏻

2. Data buku:
🔖 Judul
Tulis selengkap-lengkapnya termasuk subjudul, volume dan kawan-kawannya itu.
🔖 Pengarang
Kalau buku terjemahan tuliskan nama pengarang dan penerjemahnya aja. Kalau buku lokal gak usah kita terjemahin pake google translate. Apalagi diterjemahin ke bahasa Padang atau Suroboyoan. Itu berat.
🔖 Penerbit
Tulis perusahaan penerbitan plus kotanya
🔖 Tahun terbit
Tuliskan tahun terbit buku yang kita resensi, lengkapi dengan info edisi/cetakan ke berapa. Karena buku2 best seller biasanya sampai beberapa kali cetak.
🔖 Dimensi/tebal buku
Tuliskan ukuran buku. Kalau ada info panjang, lebar, dan tinggi tuliskan saja jangan kau pendam sendiri. Kalau gak ada, cukup info jumlah halaman. 
🔖 Harga buku
Cantumkan harha buku apa adanya gak usah ditambah gak usa dikurangi. Kan ceritanya mau nulis resensi, bukan jualan. 🙈

3. Ikhtisar
Hati-hati dalam menulis ikhtisar. Jangan sampai spoiler. Cukup buat sinopsis cerita dari buku yang kita baca, gak perlu urut sesuai urutan kronologis dalam buku. Bebas aja, ceritakan hal-hal menariknya. 
Ingat, jangan bocorkan saldo buku tabungan Anda. Eh, jangan bocorkan keseluruhan isi buku bacaan Anda.

4. Penilaian
Ceritakan kelebihan dan kekurangan buku, baik dari sisi konten maupun fisik. Aku pernah baca buku bagus tapi tulisannya terlalu kecil atau kertasnya terlalu tipis. Penilaiannya dalam bentuk cerita lho bukan dalam bentuk nilai raport.

5. Penutup

Kita bisa kasih kritik saran buat penerbit atau pengarangnya. Atau bisa juga kasih saran  buat pembaca, misal buku ini cocok untuk para jomblo yang menantikan jodoh terbaiknya tapi belum tahu apa yang harus dilakukan dalam penantian panjangnya itu.


#30DWCJilid13 #Squad10 #Day25

Minggu, 10 Juni 2018

Mendaki Menara Cita

Amalia tersenyum simpul menatap sebuah gambar menara di dinding kamarnya. Menara hasil gambaran tangannya dengan anak tangga sepanjang dinding luarnya. Ada tulisan nama SMP, SMA sampai Universitas favorit di sana. Gambar sederhana yang membawa Amalia melayang pada masa lalu. 

Kondisi keluarganya yang bisa dibilang tidak kaya, membuatnya sedikit terkucil di sekolah. Ibunya yang hanya berjualan sembako di toko kecil di pasar sengaja menyekolahkan Amalia di SD swasta paling bagus di desanya. Ibunya berharap Amalia bisa jadi anak pintar dan nantinya akan punya masa depan yang cerah. 

Amalia memang pintar, tapi hal itu tidak menjadikan dia bisa mudah berteman dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan anak orang kaya. Beruntung Amalia menjadikan terkucilnya dia di lingkungan sekolah sebagai motivasi untuk maju. Dia selalu berpikir: 'Kalian boleh punya keluarga kaya, tapi urusan prestasi sekolah kalian tidak akan punya prestasi sebaik aku'

Kelas 4 SD, Amalia menggambar menara itu, Menara Cita. Dan sejak saat itu hidup Amalia diisi dengan semangat pneuh mendaki menara cita. Saat itu targer pertamanya adalah SMP negeri paling favorit di daerahnya. Dia pun belajar dengan giat untuk bisa masuk sekolah itu. 

Setelah masuk SMP, Amalia menambahkan sebuah anak tangga lagi di dinding luar menara citanya. Dituliskan satu nama SMA negeri paling bagus di kota temoat tinggalnya. Langkahnya setiap hari adalah mendaki menara cita. Dia tak mau teman-teman memandangnya rendah lagi. Dia akn membuktikan suatu saat teman-teman yanfgmengucilkan dia, yang tidak mau berteman dengannya hanya karena bukan anak  orang kaya, akan terkejut melihat pencapaiannya di ujung menara yang menjulang tinggi ke angkasa. 

Pendakian Amalia berjalan lancar sesuai yang ditargetkan sampai SMA. Dia masuk ke sekolah terbaik di kotanya. Bahkan selalu menjadi juara kelas di sana. Akan tetapi tiba-tiba ada badai yang menghadang ketika dia semakin mendekati puncak menara cita. Bapak ibu tidak mengizinkan Amalia untuk mengambil jurusan kedokteran saat ujian masuk perguruan tinggi. Mereka merasa tak akan mampu membiayai kuliah di kedokteran. Padahal Amalia sudah meyakinkan mereka kalau dia akan mencari beasiswa untuk biaya kuliahnya. Tapi sia-sia, kali ini Amalia tak bisa menapaki anak tanggayang sudah digambarkannya. 

Amalia menggambarkan anak tangga baru di samping tulisan jurusan impiannya, kedokteran. Sebuah anak tangga tanpa nama yang ternyata membawa dia pada jurusan manajemen bisnis. Sebuah jurusan yang sama sekali tidak ada dalam kepala Amalia sebelumnya. 

Tak ada semangat lagi untuk mendaki menara cita. Seperti sia-sia sudah mendaki sampai atas, selangkah lagi menuju puncak tapi badai memporak porandakan semuanya. Dia pun hanya kuliah untuk sekedar membahagiakan orang tuanya. Untuk mengobati kekecewaannya, ketika tidak ada jadwal kuliah dia sering main ke perpustakaan fakultas kedokteran. Dia senang sekali membaca buku-buku yang dipelajari mahasiswa kedokteran di sana. 

Amalia tersenyum menyentuh gambar menara itu. Air mata menetes tanpa izin dari si enpunya. Dia menatap suami dan anak-anaknya yang sudah terlelap. Siapa yang menyangka, kegemaran untuk mengunjungi perpustakaan fakultas kedokteran mempertemukannya dengan Fadli. Laki-laki yang sekarang menjadi suaminya sekaligus dokter jantung terbaik di kota ini. 

Dia duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping suaminya. Tersenyum penuh rasa syukur. Menjadi ibu rumah tangga dengan suami super sabar dan anak-anak yang sehat adalah puncak pencapaiannya selama mendaki menara cita. 


#30DWCJilid13 #Squad10 #Day24 #temaMenara

Sabtu, 09 Juni 2018

Jika Rencana Pertama Gagal

Semangat pagi Penikmat Kopi,

Ada yang sudah bersiap untuk mudik ke kampung halaman? Atau malah sudah ada yang berangkat memulai perjalanan panjang?

Aku belum berangkat dan belum siap-siap mudik nih. Dua minggu terakhir gak sempat sama sekali memikirkan persiapan mudik. Pekerjaan kantor luar biasa banyaknya, padat merayap mirip jalan pantura saat musim mudik lebaran. Bukan hanya pekerjaan yang bisa diselesaikan di atas meja tapi juga pekerjaan lapangan. Wuih, bulan puasa harus ke lapangan itu ternyata benar-benar membutuhkan energi besar. 

Meski belum menyiapkan apapun, awalnya aku tenang karena pengajuan cuti tambahanku besar kemungkinan disetujui oleh atasan. Aku mengajukan tambahan cuti 2 hari setelah cuti bersama. Maklum, rute mudik kita jauh, Pekalongan - Purworejo - Malang. Kalau gak menyediakan waktu yang panjang kok rasanya rugi ya. 

Sampai hari terakhir kerja kemarin aku masih berusaha jungkir balik menyelesaikan pekerjaan. Pulang agak terlambat demi kata tuntas sebelum libur lebaran. Maksud hati bagitu sampai rumah langsung bisa tersenyum cerah dan berkata aku siap liburan. Tapi ternyata aku disambut dengan wajah muram suami yang cutinta dibatalkan. 

Rasanya langsung gak mampu tersenyum. Cuti tambahan 2 hari sangatlah berarti, karena selain mengunjungi orang tua, kita berencana sekalian liburan. Hanya itu kesempatan kita mengajak anak-anak jalan-jalan di tengan libur panjang kenaikan kelasnya. 

Aku dan suami sama-sama bingung. Kasian anak-anak dan juga kakeknya. Waktu berkunjung ke rumah kakeknya jadi lebih pendek. Waktu jalan-jalan mereka juga semakin sempit. 

Tapi alhamdulillah selepas salat magrib dan salat tarawih, hati kita sudah bisa lebih tenang. Aku dan suami mengatur lagi agenda mudik kita. Mencoba mencari rute mudik yang lebih cepat, menentukan destinasi wisata yang baru, dan yang pasti mencari penginapan juga. Bisa ditebak dong penginapan di musim mudik itu bakal penuh semua. 

Saking asyiknya mengagendakan ulang jadwal mudik, gak kerasa ternyata sudah  hampir jam 12 malam. Dan hasilnya kita kesiangan bangun sahur. Kita baru bangun pas azan subuh. Astaghfirullah. 

Buat pengalaman nih, Penikmat Kopi. Jika rencana pertama gagal, coba terima dulu kenyataan dengan tenang. Kalau sudah bisa tenang, coba agendakan ulang. Tapi jangan sampai terlalu menggebu-gebu sampai lupa istirahat ya. Nanti badan malah protes minta hak istirahatnya alias meriang menjelang lebaran kan gawat. Hehehe.

Baiklah, Penikmat Kopi, sekian curahan hati dari aku yang lagi galau ini. Selamat menikmati perjalanan mudik buat kalian ya. Semoga lancar dan selamat sampai tujuan. 


#30DWCJilid13 #Squad10 #Day23

Jumat, 08 Juni 2018

Curahan Hati Si Writer Wanna Be

Semangat pagi Penikmat Kopi,

Aku mau curhat, nih. Hari ini aku lagi kehabisan ide, gak tahu mau nulis apa. Setelah beberapa hari full energy untuk belajar menulis fiksi, lalu baterai mulai melemah. Ketika baterai melemah, langkah paling aman adalah menulis puisi. Ketika kita menguntai kata menjadi sebuah puisi yang diperlukan adalah mengeluarkan isi pikiran dengan lancar. Mungkin tantangannya adalah memilih kata dan diksi yang pas. Tapi kalau menulis fiksi ampun, banyak banget yang harus dipikirkan. Tokoh, alur cerita, konflik, latar tempat dan sepertinya masih banyak yang harus dipikirkan. 

Salut sama para penulis novel yang tentunya butuh waktu lama untuk melakukan riset demi mendapatkan karakter tokoh yang pas, latar tempat yang detail, konflik yang keren, dan juga alur cerita yang menarik. Salut juga sama teman-teman yang bisa menulis fiksi semudah saya menulis status di sosial media. Ketik, ketik, ketik, jadilah sebuah fiksi yang sederhana tapi bagus ceritanya. 

Perlu kerja keras buatku belajar menulis fiksi. Menulis dengan penuh perasaan, meresapi setiap kata per kata yang kutuliskan. Alhamdulillah sekarang sedang berada dalam satu grup dengan teman-teman beraliran fiksi. Dan yang terpenting mereka baik hati, tidak sombong, dan rajin berbagi ilmu menulisnya. Aku menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai referensi belajar. Mempelajari kata per kata. Meski ada waktunya juga aku lelah. 

Lelah dan harus tetap menulis. Membagi pikiran antara penyelesaian pekerjaan kantor yang harus kelar sebelum libur lebaran dan menyiapkan semua keperluan mudik saja sudah cukup bisa jadi alasan aku kehabisan ide. Tapi karena tetap harus menulis, jadilah kutulis curahan hati ini. Melepaskan beban perasaan. Bukankah menulis adalah salah satu terapi untuk menjaga kewarasan diri? 

Baiklah cukup sekian curahan hati dari si writer wanna be.

#30DWCJilid13 #Squad10 #Day22

Rabu, 06 Juni 2018

Siang dan Malam

Siang bertanya padaku,
Tidakkah kau sadar telah membawa gelap
Tidakkah kau tahu gulita selalu ada bersamamu
Apa rasanya menjadi malam yang hanya hitam

Aku pun bertanya pada siang
Tidakkah kau sadar telah membawa panasa menyengat
Tidakkah kau tahu tak selamanya mereka butuh terangmu
Apa jadinya sepanjang hari dipenuhi siang yang terang

Siang tetap merasa jumawa akan dirinya
Semua orang bekerja di bawah sinarnya
Semua orang bersemangat dalam putaran waktu di masanya
Semua orang senang berjumpa dengan siang

Tapi siang tak tahu dia
Orang-orang itu butuh ketenangan
Redup yang membawa mereka dalam hening
Hening membawa mereka dalam istirahat melepas lelahnya bertemu siang

Malam pun dirindukan
Malam tak hanya bercerita tentang hitam nan pekat
Malam saatnya orang merebahkan badan dari kesibukan seharian
Malam saatnya orang bercengkerama dengan yang tersayang

Siang termangu mendengar rentetan penjelasanku
Menunduk dia malu-malu
Karna tak selamanya yang terang itu membawa riang
Terang itu kalau lama akan menyilaukan

Siang pun tersenyum berjabat erat pada malam
Siang dan malam
Dua masa yang talah digariskan
Ada gelap dan ada terang, ada tujuan masing-masing diciptakan mereka oleh Tuhan

#30DWCJilid13 #Squad10 #Day21 #TemaMalam

Selasa, 05 Juni 2018

Tak Perlu Google Translate

Kita tidak satu bahasa, tapi kurasa tak perlu google translate tuk pahami bahasamu
Bahasamu adalah perilaku
Bahasaku adalah tutur kataku
Kita berbeda dan kita saling tahu itu

Meski terkadang aku kecewa karena berharap ada lembut aksaramu menenangkanku
Meski terkadang aku kehilangan hadirmu hanya karena tak ada sepatah kata darimu
Aku lupa, aku lupa untuk menerjemahkan perilakumu sebagai wujud cinta untukku
Aku lupa, aku lupa dalam diammu ada gunung kasih sayang bagiku

Kau menyayangiku dengan kerja kerasmu
Kau mencintaiku dengan rasa khawatir yang sembunyikan di balik tenangmu
Seharusnya aku tak perlu google translate untuk menerjemahkan semua itu
Karena bahasamu memang tak sama dengan bahasaku

Dear ayah,
Lama aku berusaha untuk menyadari besarnya cintamu untukku
Lama aku belajar untuk menerjemahkan bahasa kasih sayangmu
Lama aku merasa sendiri tanpa belai kasihmu
Lama aku tak berhasil memahami perhatian dalam sunyimu

Dear ayah, 
Maafkan aku yang terlalu egois tuk sadari betapa besar kerja kerasmu untukku
Maafkan aku yang tak perna akui semua bentuk perilaku itu sebagai sebongkah cinta untuk anakmu

#30DWCJilid13 #Squad10 #Day20 #TemaGoogleTranslate

Senin, 04 Juni 2018

Sebait Puisi Untukmu

Hai kamu,
Diam-diam ternyata aku kehilanganmu
Diam-diam ternyata aku merindumu
Diam-diam ternyata aku ingin hadirmu
Diam-diam ternyata aku pun suka mengamati dari jauh

Hai kamu, 
Aku tak pandai membuat sajak indah 
Aku tak pandai merangkai aksara
Aku tak lihai memilih diksi untuk menyusun puisi
Karena aku bukanlah ahli sastra ataupun penyair masyhur di kota ini

Tak perlu kata indah yang tersusun rapi
Tak perlu diksi tepat agar kalimat indah tersaji
Yang kuperlukan hanya satu, jangan kau menghilang lagi

Entah angin apa yang buatku beranikan diri mengirimkan puisi ini ke radio yang biasa dipakai Tania untuk kirim salam padaku. Bahkan aku menyebutkan nama lengkapnya. Ya, aku katakan kalau puisi ini dariku untuk Tania. Aku tak berpikir lagi bagaimana reaksi Marita jika dia tahu. 

Marita, aku lelah pacaran sama dia. Dia memang cantik, kalem, anggun dan aku bangga bisa jadian sama cewek yang jadi idola banyak cowok di sekolah. Tapi ternyata yang aku rasakan hanya kebanggaan saja. Malah aku lelah harus antar jemput dia sekolah setiap hari, antar jemput les, dan menuruti semua kemauannya. Tak ada getaran apapun yang kurasakan ketika bersama Marita. 

Aku tak bisa senyum-senyum sendiri seperti saat aku menyadari ada sepasang mata yang melihatku bermain basket dari jendela kelas lantai dua. Aku gak kangen saat Marita gak menelponku seharian seperti aku merindukan Tania yang menelponku hanya untuk mendengar satu kata dariku, 'halo'.

Tania, penggemar rahasiaku yang diam-diam telah berhasil mencuri hatiku. Semoga kamu mendengarkan penyiar radio kesukaan kita membacakan puisi ini untukmu. Kamu membuat cowok cuek sepertiku jadi sok mellow dan sok romantis begini. Sebait puisi ini begitu saja mengalir dari dalam hatiku. Susunan aksara apa adanya, sebuah puisi yang tersaji tanpa memikirkan pilihan diksi. Buatmu, Tania. 

(Cerita ini adalah lanjutan dari Dekat Tapi Jauh)


#30DWCJilid13 #Squad10 #Day19 #TemaDiksi

Minggu, 03 Juni 2018

Dekat Tapi Jauh

20 Juli 2001

Namaku Tania Adiba Maheswara, panggil saja aku Tania. Aku kelas 1 SMA di salah satu sekolah unggulan Kota Malang. Aku hanya murid biasa saja, bukan cewek tenar dengan banyak penggemar. Aku juga bukan tergolong murid yang aktif dalam organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler. Teater adalah satu-satunya kegiatan ekstra yang aku ikuti.

Aku pernah nyoba ikut ekstrakurikuler paskibra, tapi akhirnya mundur karena aku gak kuat ikutin latihan fisiknya yang lumayan berat. Lagian aku gak benar-benar suka sama eskul itu. Aku ikut cuma karena ingin sering bertemu dengan Kak Mahe, cinta pertamaku.

Mahe, nama lengkapnga Mahendra Kurniawan. Kelas 2 SMA di sekolah yang sama denganku. Aku suka sama dia sejak pertama bertemu. Kita pertama bertemu saat aku ospek. Dia adalah pembimbing baris berbaris di kelompokku. Kalau ditanya ganteng apa enggak, mungkin orang lain akan bilang dia biasa saja. Kak Mahe bukan tipikal cowok tenar yang banyak penggemar. Dia juga bukan aktifis di sekolah. Satu-satunya ekskul yang dia ikuti hanya paskibra. Meski sebenarnya dia juga jago basket, tapi dia gak ikut ekskul yang isinya cowok-cowok tenar sekolahan itu.

Sejak ospek hari pertama, aku langsung jatuh cinta padanya. Wajahnya yang kalem dan tatapan matanya yang sendu membuat aku selalu rindu. Sejak saat itu aku selalu mengikuti setiap langkahnya di sekolah.

Setiap pagi aku selalu menunggunya di dekat parkiran. Aku pura-pura duduk di kursi kantin dekat parkiran, hanya untuk menunggunya lewat. Sudah, itu saja. Hanya melihatnya lewat saja. Begitupun saat pulang sekolah. Aku melakukan hal yang sama.

Aku juga selalu berdiri di barisan paling depan setiap Kak Mahe menjadi petugas upacara. Aku pun selalu melihat dia dari jendela kelasku di lantai dua ketika dia bermain basket di lapangan. Satu hal yang paling aku suka ketika melihat Kak Mahe adalah ketika wajahnya basah oleh air wudhu sebelum salat duha. Awalnya aku hanya melihatnya dari kejauhan, lama kelamaan aku tertarik untuk ikut salat duha. Pokoknya aku selalu mengikuti langkah Kak Mahr dimanapun dia berada di sekolah.

Bukan hanya itu, aku juga sering berkirim salam untuk kak Mahe lewat radio. Aku request lagu-lagu kesukaannya. Aku mencari tahu lagu-lagu kesukaan kak Mahe dari teman sekelasku yang kebetulan adalah tetangganya. Mencari tahu dengan sangat hati-hati karena aku gak ingin seorangpun tahu tentang perasaanku pada kak Mahe.

Selain itu, setiap hari akubjuga menelpon ke rumah kak Mahe. Hanya mendengarkan suaranya berkata 'halo' saja aku sudah berbunga-bunga.

Tapi ...

Selama ini aku gak pernah berani menunjukkan perasaanku pada kak Mahe. Saat berkirim salam lewat radio pun aku selalu memakai nama samaran, Nia. Jadi sepertinya kak Mahe bahkan tidak mengenalku. Lagipula siapalah aku. Pasti aku bukan tipikal cewek yang dicari kak Mahe. 


15 September 2001

Marita Ayuningtyas, nah ini dia ternyata tipikal ceweknya kak Mahe. Ayu seperti namanya, kalem, anggun, dan sekarang dia jadi pacar kak Mahe. Sudah dua bulan ini mereka jadian. Pasti kak Mahe senang dan bangga punya cewek secantik dia. Maklum, Marita salah satu cewek idola yang diincar sama cowok-cowok di sekolah ini.

Mereka tampak serasi, ganteng dan cantik. Selalu berangkat dan pulang sekolah bareng. Hatiku hancur. Cinta pertamaku sudah ada yang punya. Berangkat sekolah rasanya tak lagi semangat seperti biasa. Aku gak pernah lagi menunggu kak Mahe di tempat parkir. Aku gak pernah lagi berdiri di barisan paling depan saat upacara. Aku gak kirim-kirim salam dan request lagu kesukaannya di radio lagi. Bahkan untuk salat duha aku menunggu dia pergi dari musola dulu. Aku pun tak lagi punya semangat untuk mendengar satu kata 'halo' di ujung gagang telpon.

Ah, kak Mahe pun gak sadar dengan kehadiranku yang selalu mengikuti langkahnya di setiap sudut sekolah ini. Aku pun belum pernah berkenalan langsung dengannya. Dia mungkin bahkan tak pernah tahu ada makhluk bernama Tania di sekolah ini. Jadi, gak akan ada artinya kalau aku tak lagi mengikuti langkahnya lagi.

Kak Mahe, kita ini sebenarnya dekat tapi jauh. Kita satu sekolah, tapi jarak kita terlalu jauh, baikan bumi dan matahari. Aku tak berani berharap lagi.

(Cerita ini lanjutan dari Ini Rasa Apa?)

#30DWCJilid13 #Squad10 #Day18 #TemaJauh

Ini Rasa Apa?

20 Juli 2001

Namaku Mahendra Kurniawan, panggil saja Mahe. Kelas 2 SMA di salah satu sekolah unggulan Kota Malang. Aku hanya siswa biasa saja, bukan cowok tenar maksudnya, yang juga aktif pada kegiatan paskibra. Tapi meski aku bukan termasuk cowok tenar di sekolah, aku punya penggemar lho. 

Tania Adiba Maheswara, kelas 1 SMA di sekolah yang sama denganku. Dialah penggemarku selama ini. Tania selalu memata-matai setiap langkahku di sekolah, sejak aku datang di parkiran di pagi hari sampai aku mau meninggalkan parkiran di siang hari sepulang sekolah. Ya, setidaknya itu yang aku rasakan setahun terakhir ini.

Dia selalu berdiri di barisan paling depan setiap aku menjadi petugas upacara. Dia selalu ada di jendela kelasnya di lantai dua setiap aku bermain basket di lapangan. Dia juga selalu ada di musola sekolah ketika aku salat duha. Pokoknya aku merasa selalu ada dia di setiap langkahku di sekolah. 

Bukan hanya itu, Tania juga sering berkirim salam lewat radio yang sering kudengar di rumah. Dia selalu request lagu-lagu kesukaanku. Setiap hari Tania juga menelponku, meski langsung dia tutup ketika aku menyapanya dengan satu kata, 'halo'.

Aku tersanjung dengan semua yang dilakukan Tania selama ini, meski sayangnya aku tak punya perasaan apapun padanya. Dia bukan tipikal cewek yang kumau.

15 September 2001

Marita Ayuningtyas, dia tipikal cewek yang aku mau. Ayu seperti namanya, kalem, anggun, dan sekarang dia jadi pacarku. Sudah dua bulan ini aku jadian sama Marita. Senang dan bangga punya cewek secantik dia. Teman-temanku banyak yang iri. Maklum, Marita salah satu cewek idola yang diincar sama cowok-cowok di sekolah ini. 

Hidupku terasa berubah sejak jadian dengan Marita. Bukan hanya aku harus antar jemput dia sekolah setiap harinya. Bukan juga aku harus antar jemput dia les setiap sorenya. Bukan, hidupku tak berubah karena dia.

Ada yang hilang dari kehidupanku. Gak ada lagi mata yang mengikuti langkahku di sekolah. Gak ada lagi yang berdiri di barisan paling depan saat aku bertugas menjadi pengibar bendera saat upacara. Gak ada lagi yang kirim salam dan request lagu kesukaanku. Bahkan Marita saja gak tahu lagu kesukaanku. Gak ada lagi yang salat duha bersamaku. Gak ada lagi yang bisa kusapa dengan satu kata setiap harinya di ujung gagang telpon itu.

Kemana dia?

Aku bahkan sengaja mondar mandir lewat depan kelasnya tapi gak pernah sekalipun bertemu dengannya. Gak ada yang menontonku main basket di lapangan tengah sekolah. Gak ada senyum manisnya di balik jendela kelas lantai dua.

Kenapa ada yang hilang sejak dia menghilang?

Bahkan kehadiran Marita gak bisa melengkapi hariku. Ada yang kurang rasanya dalam hariku. Aku gak peduli Marita bosan menungguku di kantin gara-gara aku kelamaan di musola ketika jam istirahat hanya untuk menunggu Tania. Aku gak peduli Marita marah-marah hanya karena motorku gak segera jalan meski sudah kunyalakan hanya untuk berharap Tania muncul dengan wajahnya yang riang.

Ah, ada apa denganku? Aku begitu kehilangan dia. Tapi aku gak punya keberanian untuk mencari Tania langsung ke kelasnya. Bahkan menyapanya sekalipun aku tak pernah selama setahun. Aku hanya melihatnya dari jauh. Melihatnya yang selama ini kukira tak berarti buatku. Tapi nyatanya ada kepingan puzzle yang kurang ketika dia hilang.

Ini rasa apa? Entahlah. Aku tak bisa memberi makna atas apa yang aku rasa.

#30DWC #30DWCJilid13 #Squad10 #Day17 #TemaMaknaRasa

Jumat, 01 Juni 2018

Tunjukkan Jiwa Mudamu

"Nih, Al. Aku daftarin kamu ikut lomba penulisan cerpen. Kemarin aku gak sengaja baca pengumumannya pas buka instagram," kata Doni yang muncul tiba-tiba di samping meja kerja Alya sambil menyodorkan gawainya. Ada pesan whatsapp yang menunjukkan namanya telah terdaftar dalam sebuah lomba menulis.

Doni tau betul kalau teman sekantornya yang suka menyendiri ini hobi banget menulis baik puisi maupun cerpen. Awalnya tanpa sengaja Doni melihat sekilas tulisan Alya di komputernya yang gak dimatikan waktu istirahat. Lama kelamaan Doni jadi kecanduan membaca tulisan Alya berikutnya. Tiap istirahat Doni selalu mampir ke meja kerja Alya, pastinya pas yang punya meja lagi gak di tempat. 

Kemarin pas lagi buka-buka instagram, gak sengaja Doni menemukan pengumuman lomba cerpen. Tanpa berpikir panjang, Doni langsung mendaftarkan Alya untuk ikut lomba itu. Cerpen dengan tema 'Cerita Cinta Masa SMA' pasti bakal ditulis dengan apik oleh Alya, pikir Doni. 

"Kok, tiba-tiba kamu daftarin aku ikut lomba cerpen?" Alya memandang Doni penuh heran. Selama ini tak ada satupun orang yang tahu hobinya menulis. Lagipula dia kan menulis hanya untuk koleksi pribadinya. Gak pernah dibaca sama orang lain. Kening Alya berkerut memandang Doni yang begitu antusias membahas lomba ini. 

"Hehehe maaf, Al. Awalnya aku gak sengaja baca tulisan di komputermu pas istirahat. Akhirnya aku keterusan deh baca tulisanmu tiap hari. Bagus banget lho tulisan-tulisanmu, Al," jawab Doni sambil senyum-senyum merasa bersalah pada Alya. 

Wajah keheranan Alya seketika berubah marah, "Doniiii, jadi selama ini kamu buka-buka komputer aku? Baca-baca tulisanku?" Alya melayangkan cubitan kesal ke lengan Doni.

"Ampuun, Al. Sakit, tahu. Maaf deh karena udah baca tulisanmu tanpa izin. Tapi lomba ini kamu harus ikut ya. Aku yakin kamu pasti bisa." Doni berusaha merayu Alya sambil memegangi lengannya yang masih sakit karena cubitan teman kantornya yang masih jomblo di umur 33 tahun ini.

"Lagian kamu daftarin lomba gak tanggung-tanggung, Don. Tema cerita cinta masa SMA. Jangan-jangan ada syarat umur penulisnya lagi. Aku kan gak muda lagi Don buat nulis tema begituan," jawab Anita sambil memutat lagi kursinya lurus menghadap komputer. Dia pura-pura sibuk dengan pekerjaannya, meski dalam hati ingin juga ikut lomba itu. 

"Duh Aaaall kamu kan juga masih muda. Ehm, kalau kamu emang merasa tua, itu benar adanya sih. Tapi kan setidaknya kan itu cuma dari segi umur dan wajah aja, Al. Buat tulisan itu kamu tinggal tunjukkan jiwa mudamu aja. Hahaha" Doni langsung lari kabur menjauh dari Alya sambil tertawa puas. Dia memberikan isyarat tangan tanda menulis pada Alya dari ujung ruang kantornya. 

Ingin rasanya melempar Doni dengan gumpalan kertas ini, tapi Alya mengurungkannya. Dia langsung disibukkan dengan pikirannya sendiri. Benar juga kata Doni, tunjukkan jiwa mudamu, ikuti tantangan ini. Kapan lagi membawa keluar kemampuan menulis yang hanya terkurung dalam komputer menjadi satu karya yang bisa dinikmati orang lain.

#30DWC #30DWCJilid13 #Squad10 #Day16 #TemaMuda