Hai kamu,
Diam-diam ternyata aku kehilanganmu
Diam-diam ternyata aku merindumu
Diam-diam ternyata aku ingin hadirmu
Diam-diam ternyata aku pun suka mengamati dari jauh
Hai kamu,
Aku tak pandai membuat sajak indah
Aku tak pandai merangkai aksara
Aku tak lihai memilih diksi untuk menyusun puisi
Karena aku bukanlah ahli sastra ataupun penyair masyhur di kota ini
Tak perlu kata indah yang tersusun rapi
Tak perlu diksi tepat agar kalimat indah tersaji
Yang kuperlukan hanya satu, jangan kau menghilang lagi
Entah angin apa yang buatku beranikan diri mengirimkan puisi ini ke radio yang biasa dipakai Tania untuk kirim salam padaku. Bahkan aku menyebutkan nama lengkapnya. Ya, aku katakan kalau puisi ini dariku untuk Tania. Aku tak berpikir lagi bagaimana reaksi Marita jika dia tahu.
Marita, aku lelah pacaran sama dia. Dia memang cantik, kalem, anggun dan aku bangga bisa jadian sama cewek yang jadi idola banyak cowok di sekolah. Tapi ternyata yang aku rasakan hanya kebanggaan saja. Malah aku lelah harus antar jemput dia sekolah setiap hari, antar jemput les, dan menuruti semua kemauannya. Tak ada getaran apapun yang kurasakan ketika bersama Marita.
Aku tak bisa senyum-senyum sendiri seperti saat aku menyadari ada sepasang mata yang melihatku bermain basket dari jendela kelas lantai dua. Aku gak kangen saat Marita gak menelponku seharian seperti aku merindukan Tania yang menelponku hanya untuk mendengar satu kata dariku, 'halo'.
Tania, penggemar rahasiaku yang diam-diam telah berhasil mencuri hatiku. Semoga kamu mendengarkan penyiar radio kesukaan kita membacakan puisi ini untukmu. Kamu membuat cowok cuek sepertiku jadi sok mellow dan sok romantis begini. Sebait puisi ini begitu saja mengalir dari dalam hatiku. Susunan aksara apa adanya, sebuah puisi yang tersaji tanpa memikirkan pilihan diksi. Buatmu, Tania.
0 komentar:
Posting Komentar