Amalia tersenyum simpul menatap sebuah gambar menara di dinding kamarnya. Menara hasil gambaran tangannya dengan anak tangga sepanjang dinding luarnya. Ada tulisan nama SMP, SMA sampai Universitas favorit di sana. Gambar sederhana yang membawa Amalia melayang pada masa lalu.
Kondisi keluarganya yang bisa dibilang tidak kaya, membuatnya sedikit terkucil di sekolah. Ibunya yang hanya berjualan sembako di toko kecil di pasar sengaja menyekolahkan Amalia di SD swasta paling bagus di desanya. Ibunya berharap Amalia bisa jadi anak pintar dan nantinya akan punya masa depan yang cerah.
Amalia memang pintar, tapi hal itu tidak menjadikan dia bisa mudah berteman dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan anak orang kaya. Beruntung Amalia menjadikan terkucilnya dia di lingkungan sekolah sebagai motivasi untuk maju. Dia selalu berpikir: 'Kalian boleh punya keluarga kaya, tapi urusan prestasi sekolah kalian tidak akan punya prestasi sebaik aku'.
Kelas 4 SD, Amalia menggambar menara itu, Menara Cita. Dan sejak saat itu hidup Amalia diisi dengan semangat pneuh mendaki menara cita. Saat itu targer pertamanya adalah SMP negeri paling favorit di daerahnya. Dia pun belajar dengan giat untuk bisa masuk sekolah itu.
Setelah masuk SMP, Amalia menambahkan sebuah anak tangga lagi di dinding luar menara citanya. Dituliskan satu nama SMA negeri paling bagus di kota temoat tinggalnya. Langkahnya setiap hari adalah mendaki menara cita. Dia tak mau teman-teman memandangnya rendah lagi. Dia akn membuktikan suatu saat teman-teman yanfgmengucilkan dia, yang tidak mau berteman dengannya hanya karena bukan anak orang kaya, akan terkejut melihat pencapaiannya di ujung menara yang menjulang tinggi ke angkasa.
Pendakian Amalia berjalan lancar sesuai yang ditargetkan sampai SMA. Dia masuk ke sekolah terbaik di kotanya. Bahkan selalu menjadi juara kelas di sana. Akan tetapi tiba-tiba ada badai yang menghadang ketika dia semakin mendekati puncak menara cita. Bapak ibu tidak mengizinkan Amalia untuk mengambil jurusan kedokteran saat ujian masuk perguruan tinggi. Mereka merasa tak akan mampu membiayai kuliah di kedokteran. Padahal Amalia sudah meyakinkan mereka kalau dia akan mencari beasiswa untuk biaya kuliahnya. Tapi sia-sia, kali ini Amalia tak bisa menapaki anak tanggayang sudah digambarkannya.
Amalia menggambarkan anak tangga baru di samping tulisan jurusan impiannya, kedokteran. Sebuah anak tangga tanpa nama yang ternyata membawa dia pada jurusan manajemen bisnis. Sebuah jurusan yang sama sekali tidak ada dalam kepala Amalia sebelumnya.
Tak ada semangat lagi untuk mendaki menara cita. Seperti sia-sia sudah mendaki sampai atas, selangkah lagi menuju puncak tapi badai memporak porandakan semuanya. Dia pun hanya kuliah untuk sekedar membahagiakan orang tuanya. Untuk mengobati kekecewaannya, ketika tidak ada jadwal kuliah dia sering main ke perpustakaan fakultas kedokteran. Dia senang sekali membaca buku-buku yang dipelajari mahasiswa kedokteran di sana.
Amalia tersenyum menyentuh gambar menara itu. Air mata menetes tanpa izin dari si enpunya. Dia menatap suami dan anak-anaknya yang sudah terlelap. Siapa yang menyangka, kegemaran untuk mengunjungi perpustakaan fakultas kedokteran mempertemukannya dengan Fadli. Laki-laki yang sekarang menjadi suaminya sekaligus dokter jantung terbaik di kota ini.
Dia duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping suaminya. Tersenyum penuh rasa syukur. Menjadi ibu rumah tangga dengan suami super sabar dan anak-anak yang sehat adalah puncak pencapaiannya selama mendaki menara cita.
0 komentar:
Posting Komentar