Kamis, 19 April 2018

Resensi Buku: Ayahku (Bukan) Pembohong



Judul: Ayahku (Bukan) Pembohong

Penulis: Tere Liye

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Kota Penerbitan: Jakarta

Tahun Terbit: 2011

Cetakan: Keempatbelas, Januari 2016

Ketebalan: 299 halaman

ISBN: 978-979-22-6905-5

Sudah lama aku ingin mengadopsi buku ini dari rak toko. Hanya saja cerita bertema ayah membuat tanganku berat untuk mengambilnya. Meski hubunganku dengan ayah baik-baik saja, setidaknya dilihat dari kulit luarnya, tapi seperti masih ada gumpalan yang menyesakkan dada.


Setelah beberapa tahun aku hanya berani melirik dalam setiap kunjunganku ke toko buku, akhirnya awal tahun ini aku memberanikan diri untuk membelinya. Membawa pulang ke rumah tidak serta-merta membuatku langsung berani membacanya. Aku takut dengan perasaanku sendiri.

Ayahku (Bukan) Pembohong. Benar saja, buku ini amat sangat berat buatku. Membuat segala rasa berkecamuk hebat dalam pikiran dan hatiku. Bercerita tentang betapa besar usaha seorang ayah untuk membahagiakan anak dan istrinya. Bahagia dengan definisi yang berbeda dari umumnya. Seorang ayah dengan level kebijakan yang amat tinggi berusaha mendidik anak lelakinya dengan cara yang tak biasa. Sosok ayah yang tidak bisa dengan lugas mengungkapkan rasa cinta.

Seorang ayah selalu memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan rasa cinta pada keluarga. Bukan dengan rangkaian kata ataupun tindakan yang terang-terangan mencolok mata. Ayah selalu punya cara yang istimewa.

Sayangnya kita sebagai anak, terkadang tidak mampu untuk menerjemahkan bahasa cinta seorang ayah. Kelembutan hati, sikap sabar dan telaten, kata-kata sayang dan cinta dari seorang ibu kadang memburamkan hati kita akan besarnya cinta seorang ayah.

Terkadang tanpa kita sadari, cinta ayah tak pernah terbalas sebesar senyuman sayang kita pada ibu. Seorang ayah membanting tulang, bermandikan peluh dan berkalungkan ketegasan untuk membawa anak-anaknya pada gerbang kesuksesan.

Tapi, seberapa sering kita mengungkapkan rasa terimakasih pada ayah? Seberapa sering kita tersenyum hangat lalu berlari memeluk ayah? Kapan terakhir kali kita ngobrol santai dan berbagi gelak tawa dengan ayah?

Buku ini berat karena terlalu banyak hikmah yang bisa kita ambil dari dalamnya. Tere Liye selalu berhasil menguntai aksara menjadi cerita yang menghujam jiwa. Buku ini satu dari banyak hasil karyanya yang membawa imajinasi pembaca melayang tinggi bagai ke angkasa.

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Satu kalimat di sampul belakang buku ini berhasil menguras air mata seketika. Menghinoptis alam bawah sadarku untuk segera meraih gawai guna mendengarkan suara ayah nun jauh di sana. Sekuat tenaga aku berusaha menahan isak dalam obrolan kita. Kuceritakan banyak hal tentang hariku, keluargaku dan cerianya cucu-cucu beliau. Aku membayangkan ayah tersenyum mendengar rentetan ceritaku. 

Semerbak kehangatan tiba-tiba menyeruak dari dalam hati. Sayangnya aku masih terlalu gengsi dan egois untuk mengatakan, "Ayah, aku sangat menyayangimu."

#30DWC
#30DWCJilid12
#Squad3
#Day29

6 komentar:

  1. Balasan
    1. hai mak, tema ayah gak kalah bikin melting dibanding tema ibu ternyata mak

      Hapus
  2. Duh,saya jadi kangen sama ayah.harus pulang kampung hari Ahad nih.

    BalasHapus
  3. Baca resensinya aja udah sedihh 😢 jadi ingin baca novelnya juga

    BalasHapus